Oleh: Tgk Alwy Akbar Al Khalidi, SH, MH
Dalam dunia perpolitikan, meminta lawan untuk mundur merupakan tindakan yang tidak hanya mencerminkan kelemahan, tetapi juga mengingkari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Ketika kita berbicara tentang demokrasi, kita berbicara tentang kompetisi gagasan, perjuangan atas nilai-nilai, serta ruang bagi perbedaan pendapat. Demokrasi adalah arena di mana berbagai pemikiran dan pandangan hidup bersaing untuk memperoleh legitimasi dari rakyat. Oleh karena itu, meminta lawan untuk mundur bukan hanya sebuah tindakan pengecut, melainkan juga sebuah upaya untuk mengingkari nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Dalam ranah filsafat politik, Plato pernah menggambarkan politik sebagai seni memerintah. Namun, dalam perjalanannya, politik juga dapat berubah menjadi arena kekuasaan, di mana mereka yang berambisi mencari cara termudah untuk mendominasi. Salah satu bentuk dari ambisi yang tidak sehat ini adalah melalui upaya membungkam atau meminggirkan lawan politik, bukan melalui dialog dan argumentasi yang rasional, melainkan dengan permintaan atau bahkan tekanan agar lawan mundur dari gelanggang politik. Filsuf seperti Machiavelli dalam *The Prince* menyarankan pemimpin untuk menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi tidak berarti cara tersebut mengandung nilai etika yang tinggi. Sebaliknya, tindakan ini kerap dipandang sebagai upaya memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi, bukan demi kemajuan kolektif.
Secara moral, meminta lawan untuk mundur adalah cermin dari ketakutan. Ketakutan untuk berhadapan dengan perbedaan pandangan, ketakutan untuk diuji, dan ketakutan bahwa ide-ide yang dibawa mungkin tidak mampu bertahan dalam perdebatan publik. Aristoteles dalam *Nicomachean Ethics* menggambarkan keberanian sebagai salah satu kebajikan tertinggi, di mana seorang pemimpin harus siap menghadapi risiko dan tantangan. Politik, seperti halnya kehidupan, penuh dengan ketidakpastian dan perdebatan. Keberanian bukanlah sekadar keteguhan dalam menghadapi musuh, tetapi kemampuan untuk bertarung dalam ruang ide dan gagasan. Ketika seorang politisi meminta lawannya untuk mundur, ia pada dasarnya menunjukkan ketidakberanian untuk terlibat dalam diskusi yang terbuka, jujur, dan adil.
Di sisi lain, jika kita kembali pada gagasan John Stuart Mill dalam *On Liberty*, sebuah masyarakat yang sehat adalah masyarakat di mana perdebatan ide dibiarkan berkembang bebas, dan di situlah kemajuan manusia dapat terjadi. Mill percaya bahwa hanya melalui perdebatan yang terbuka, kita dapat menemukan kebenaran atau setidaknya mendekatinya. Jika seseorang berusaha mencegah orang lain untuk berpartisipasi dalam perdebatan politik dengan memintanya mundur, maka ia tidak hanya melanggar hak individu tersebut, tetapi juga hak masyarakat untuk mendengarkan berbagai pandangan yang berbeda. Dalam konteks ini, tindakan menyuruh lawan politik mundur adalah tindakan yang merugikan masyarakat secara luas, karena menghalangi mereka untuk mendapatkan kesempatan melihat dan memahami beragam ide dan perspektif.
Lebih jauh, tindakan meminta lawan politik untuk mundur juga berakar pada konsep kekuasaan yang dangkal. Michel Foucault, seorang filsuf post-strukturalis, berbicara tentang kekuasaan tidak hanya sebagai sesuatu yang dimiliki oleh individu atau institusi, tetapi juga sebagai sesuatu yang beroperasi dalam setiap relasi sosial. Kekuasaan, dalam pandangan Foucault, hadir di mana-mana dan selalu beroperasi melalui wacana, norma, dan institusi. Ketika seorang politisi meminta lawannya mundur, ia mencoba untuk mengatur distribusi kekuasaan melalui cara-cara yang manipulatif. Ia berusaha memanfaatkan struktur-struktur sosial dan politik yang ada untuk mengkonsolidasikan posisinya, alih-alih memperkuat relasi kekuasaan yang adil dan setara.
Tindakan tersebut juga mencerminkan mentalitas kekuasaan yang terpusat, di mana seorang politisi lebih peduli pada status dan posisi dirinya daripada pada gagasan yang ia bawa. Padahal, dalam dunia politik yang ideal, kekuasaan harus dilihat sebagai alat untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan sebagai tujuan akhir. Hannah Arendt, seorang filsuf politik terkemuka, berbicara tentang "kekuasaan" sebagai sesuatu yang muncul dari tindakan kolektif, dari kemampuan orang-orang untuk bertindak bersama. Ketika seorang politisi mencoba menghilangkan lawan dari persaingan, ia menghancurkan ruang publik di mana tindakan kolektif dapat terjadi dan menggantinya dengan dominasi satu pihak atas pihak lain.
Dalam konteks ini, menyuruh lawan mundur tidak hanya menandakan kelemahan pribadi, tetapi juga mencerminkan kegagalan memahami esensi politik yang sejati. Politik bukanlah tentang melenyapkan atau menghilangkan perbedaan, tetapi tentang merayakan pluralitas dan menciptakan ruang di mana perbedaan tersebut dapat hidup berdampingan. Jacques Derrida, filsuf dekonstruksi, mengingatkan kita akan pentingnya menerima ambiguitas dan ketidakpastian dalam kehidupan, termasuk dalam politik. Dengan memaksa lawan untuk mundur, seorang politisi mencoba menghindari ambiguitas tersebut dan memilih jalan yang mudah, tetapi tidak etis.
Secara keseluruhan, menyuruh lawan politik untuk mundur bukanlah tindakan yang menunjukkan kekuatan, tetapi sebaliknya, merupakan cerminan dari ketakutan, ketidakmampuan, dan ketidakberanian untuk berkompetisi dalam arena yang adil. Politik, pada esensinya, adalah tentang kompetisi gagasan, bukan tentang eliminasi lawan. Seorang pemimpin sejati harus mampu menghadapi lawannya dengan keberanian, argumen yang kuat, dan keyakinan pada nilai-nilai yang ia bawa. Hanya dengan cara inilah politik dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan sekadar alat untuk mempertahankan kekuasaan pribadi.
Penulis adalah: Ketua Yayasan Dayah Mini Aceh, Anggota DPP ISAD Aceh, A'wan PCNU Banda Aceh, Anggota PW HUDA Banda Aceh.